Memang itu terdengar tak masuk akal, tapi satu studi baru
membuktikan, manusia bukan hanya mendengar dengan telinga, tapi juga
melalui kulit.
Temuan tersebut dilandasi atas percobaan. Peserta percobaan itu
diminta mendengarkan suku kata sewaktu hembusan udara mengenai kulit
mereka, lalu otak mereka akan menerima dan menyatukan informasi dari
beragam indera untuk membuat gambaran mengenai keadaan sekeliling.
Bersama dengan pekerjaan lain baru-baru ini, penelitian itu
melemparkan pandangan tradisional mengenai bagaimana orang menafsirkan
dunia di kepala mereka.
“(Itu) sangat berbeda dari pendapat yang lebih tradisional, yang
dilandasi atas kenyataan bahwa kita memiliki mata jadi kita mengira diri
kita melihat informasi yang terlihat, dan kita memiliki telinga
sehingga kita mengira diri kita mendengar informasi yang dapat didengar.
Itu agak menyesatkan,” kata peneliti studi tersebut Bryan Gick dari
University of British Columbia, Vancouver, kepada penulis LiveScience
Jeanna Bryner
“Penjelasan yang lebih mungkin ialah kita memiliki otak yang
merasakan dan bukan kita memiliki mata yang melihat dan telinga yang
mendengar.” Dengan kemampuan semacam itu, Gick memandang manusia sebagai
“mesin perasa seluruh tubuh”, kata Bryner di laman livescience.com.
Penelitian tersebut, yang didanai oleh “Natural Sciences and
Engineering Council of Canada” dan “National Institutes of Health”,
dirinci di dalam jurnal Nature, terbitan 26 November.
Karya Gick dibangun atas bermacam studi masa lalu yang
memperlihatkan, misalnya, “kita dapat melihat cahaya dan mendengar
suara”, bahkan jika kita menyadarinya secara tak sengaja. Studi lain
memperlihatkan “jika anda mengamati bibir seseorang bergerak dan mengira
orang lain sedang berbicara, wilayah indera pendengaran di otak anda
akan berpijar”, kata Gick.
Banyak ilmuwan telah menjelaskan haluan penginderaan semacam itu
sebagai hasil dari pengalaman, “sewaktu kita melihat dan mendengar orang
berbicara sepanjang waktu sehingga alamiah untuk mengetahui bagaimana
menyatukan apa yang kita lihat dengan apa yang kita dengar”.
Pilihannya akan berupa kemampuan pembawaan. Dan dengan demikian Gick
dan rekannya Donald Derrick, yang juga berasal dari University of
Brititsh Columbia, mengkaji dua indera yang tidak secara umum
berpasangan –pendengaran dan peraba– untuk mengetahui pangkal persepsi.
Bagaimana kulit mendengar
Tim itu memusatkan perhatian pada suara yang diucapkan dengan
hembusan, seperti “pa” dan “ta” yang melibatkan semburan udara yang tak
dapat didengar ketika diucapkan, serta suara yang tak diucapkan dengan
hembusan, seperti “ba” dan “da”.
Peserta yang ditutup matanya mendengarkan rekaman suara pria yang
mengatakan masing-masing dari keempat suku kata tersebut dan harus
menekan tombol untuk menunjukkan suara mana yang mereka dengar (“pa, ta,
ba atau da”).
Semua peserta dibagi jadi tiga kelompok yang terdiri atas 22 orang,
dan satu kelompok yang mendengarkan suku kata sementara hembusan udara
ditiupkan ke tangan mereka, yang lain ditiupkan udara ke tengkuk mereka,
dan kelompok pemantau mendengarkan suara tanpa hembusan udara.
Sebanyak 10 persen waktu saat udara dihembuskan ke kulit, semua
peserta secara keliru menerima suku kata yang diucapkan tanpa hembusan
udara sebagai sama dengan yang diucapkan dengan hembusan udara. Jadi,
ketika orang itu mengatakan “ba”, peserta tersebut akan menunjukkan
mereka mendengar suara “pa”.
Kelompok pemantau tak memperlihatkan persepsi keliru semacam itu.
Satu eksperimen lanjutan saat kulit peserta ditepuk dan bukan
mendapatkan hembusan udara tak memperlihatkan campur-aduk antara suara
yang diucapkan dengan dan tanpa hembusan udara.
Selanjutnya, Gick bekerja sama dengan beberapa ilmuwan dari
University of California, San Francisco, untuk mengetahui bagaimana otak
membiarkan integrasi banyak-indera semacam itu.
0 komentar:
Posting Komentar