Rabu, 08 Mei 2013

Evaluasi Budaya


PENGARUH BUDAYA
TERHADAP EFEKTIVITAS ORGANISASI:
Dimensi Budaya Hofstede

PENDAHULUAN

Beberapa artikel yang menjelaskan tentang pengujian efektivitas organisasi antara lain Smith (1998); Cameron (1980); dan Sekaran dan Snodgrass (1986). Dua artikel pertama menjelaskan tentang bagaimana pengukuran efektivitas organisasi dan indikatorindikator apa yang digunakan untuk mengujinya. Sedangkan artikel Sekaran dan Snodgrass (1986) memberikan kerangka pengujian efektivitas organisasi dan secara eksplisit menghubungkannya dengan faktor budaya. Artikel-artikel
tersebut sepakat bahwa efektivitas organisasi tidak dapat dipisahkan dengan faktor lingkungan yang membentuk organisasi tersebut. O’Connor (1995) melakukan pengujian terhadap faktor budaya dan nonbudaya dan pengaruhnya terhadap penggunaan sistem evaluasi kinerja. Penelitian O’Connor tersebut menemukan bahwa tingkat individualism dan uncertainty avoidance memoderasi pengaruh dari task difficulty pada hubungan antara penekanan anggaran dengan job related tension dan kinerja.
Tujuan artikel adalah untuk memberikan suatu kerangka pemikiran mengenai pengaruh budaya (dengan menggunakan dimensi budaya Hofstede) terhadap efektivitas organisasi dengan memasukkan beberapa faktor intervening yang secara tidak langsung menjembatani hubungan antara keduanya. Artikel ini diharapkan dapat memberikan tambahan referensi bagi peneliti maupun disiplin lainnya, terutama yang berkaitan dengan penerapannya dalam dunia pendidikan. Setelah pendahuluan, artikel ini dibagi dalam beberapa bagian. Bagian pertama

BUDAYA DAN ORGANISASI

                Pengertian Budaya

Hofstede menurunkan konsep budaya dari program mental yang dibedakan dalam tiga tingkatan (Hofstede 1980: 15), yaitu: 1) tingkat universal, yaitu program mental yang dimiliki oleh seluruh manusia. Pada tingkatan ini program mental seluruhnya melekat pada diri manusia, 2) tingkat collective, yaitu program mental yang dimiliki oleh beberapa, tidak seluruh manusia. Pada tingkatan ini program mental khusus pada kelompok atau kategori dan dapat dipelajari. 3) tingkat individual, yaitu program mental yang unik yang dimiliki oleh hanya seorang, dua orang tidak akan memiliki program mental yang persis sama. Pada tingkatan ini program mental sebagian kecil melekat pada diri manusia, dan lainnya dapat dipelajari dari masyarakat, organisasi atau kelompok lain.
Dalam ilmu sosial, pada umumnya tidak dapat dilakukan pengukuran suatu konstruk secara langsung, sehingga paling tidak harus digunakan 2 pengukuran yang berbeda. Program mental ini oleh Hofstede dijelaskan dengan dua konstruk yaitu value (nilai) dan culture (budaya). Nilai didefinisikan sebagai suatu tendensi yang luas untuk menunjukkan state of affairs tertentu atas lainnya, yang pengukurannya menggunakan belief, attitudes, dan personality. Sedangkan culture didefinisikan oleh Hofstede (1991: 4) sebagai program mental yang berpola pikiran (thinking), perasaan (feeling), dan tindakan (action) atau disebut dengan “software of the mind”. Pemrograman ini dimulai dari
lingkungan keluarga, kemudian dilanjutkan dengan lingkungan tetangga, sekolah, kelompok remaja, lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat. Dengan demikian kebudayaan adalah suatu sistem nilai
yang dianut oleh suatu lingkungan, baik lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan kerja, sampai pada lingkungan masyarakat luas. Pemrograman mental atau budaya ini dikembangkan melalui
suatu sistem nilai yang berkembang dalam masyarakat, kemudian sistem nilai ini akan menjadi norma-norma sosial yang mempengaruhi perilaku sosial. Hofstede (1980:27) menggambarkan pola budaya seperti pada gambar 1.

Gambar 1. Pola Budaya

          Tingkatan Budaya



Dengan mengacu pada tingkatan program mental tersebut Hofstede menurunkan budaya dari tingkatan yang kedua (collective) sehingga budaya adalah sesuatu yang dapat dipelajari bukan merupakan suatu gen tetapi diturunkan dari lingkungan sosial, organisasi ataupun kelompok lain. Budaya ini dibedakan antara sifat manusia dan dari kepribadian individu. Sifat manusia adalah segala yang dimiliki oleh manusia misalnya sifat cinta, sedih, sifat membutuhkan orang lain, dan sebagainya, ekspresi sifat ini dipengaruhi oleh budaya yang dianut pada masyarakat tersebut. Sedangkan kepribadian (personality) seorang individu adalah seperangkat program mental personal yang unik yang tidak dapat dibagikan dengan orang lain.Hofstede (1991:10) mengkategorikan lapisan budaya untuk mengelompokkan kebiasaan orang sesuai dengan lingkungannya:
Tingkatan nasional (national level), berdasarkan suatu negara.
Tingkatan daerah (regional), dan/atau suku (ethnic), dan atau agama (religion), dan atau bahasa
     (lingistic).
Tingkatan perbedaan jenis kelamin (gender).
Tingkatan generasi, misalnya orang tua dengan anak-anak.
Tingkatan sosial, dihubungkan dengan pendidikan, dan pekerjaan atau profesi.
Tingkatan organisasi atau perusahaan.

Dimensi Budaya Dan Struktur Organisasi
Power Distance dan Struktur Hirarki

Power Distance berhubungan dengan bagaimana masyarakat menerima kenyataan bahwa kekuasaan pada suatu institusi dan organisasi didistribusikan secara tidak sama. Hirarki menunjukkan bagaimana organisasi mendistribusikan kekuasaan diantara anggotanya. Dengandemikian power distance yang tinggi, kekuasaan didistribusikan secara sangat tidak sama. Dengan kelompok yang berkuasa pada tingkat paling atas, maka pengambilan keputusan akan dilakukan secara sentralisasi dan menunjukkan adanya gaya kepemimpinan yang otokratik. Sebaliknya dengan power distance yang rendah, maka hirarki sosial akan cenderung dilakukan dalam suatu gaya kepemimpinan yang konsultatif, dimana supervisi maupun bawahan bertindak interdependen.

Uncertainty Avoidance dan Sistem Monitoring

Uncertainty Avoidance berhubungan dengan kenyataan menghadapi suatu ketidak pastian di masa yang akan datang dan bagaimana tingkat reaksi menghadapinya. Hofstede menggunakan tingkat stress untuk mengukur tingkat Uncertainty Avoidance. Sistem monitoring digunakan untuk memonitor suatu proses dari organisasi. Bagi suatu organisasi yang mempunyai budaya melakukan pengelakan ketidak pastian dengan tingkat rendah, maka cenderung untuk menggunakan sistem monitoring yang relatif simpel (misalnya menggunakan sistem penganggaran yang sedikit). Sedangkan organisasi yang mempunyai budaya pengelakan ketidak pastian yang tinggi maka akan mempunyai sistem monitoring yang komplek dan dilakukan dengan teliti.

Individualism/Collectivism dan sistem evaluasi

Dimensi ini berhubungan dengan hubungan antara individudan kelompok dimana individu tersebut menjadi anggotanya. Masyarakat yang mempunyai budaya dengan tingkat individualisme yang tinggi akan memberikan kebebasan personal dan otonomi kepada kepentingan individu. Sebaliknya masyarakat yang mempunyai budaya dengan tingkat collectivism yang tinggi, individu yang berada dalam suatu kelompok akan mementingkan kepentingan kelompok dan akan saling memperhatikan satu individu terhadap individu lainnya. Sistem evaluasi yang dirancang dalam suatu organisasi akan memperhatikan budaya yang mempengaruhi kehidupan organisasi tersebut. Bagi organisasi dengan tingkat individualisme tinggi, sistem evaluasi akan dirancang berdasarkan pada perilaku dan pencapaian setiap individu. Sedangkan untuk organisasi yang mempunyai tingkat collectivism yang
tinggi evaluasi didasarkan pada pencapaian tujuan kelompok.

Tabel 1. Kriteria Efektivitas Organisasi
1. Overall efeectiveness
2. Productivity
3. Efficiensy
4. Profit
5. Quality
6. Accidents
7. Growth
8. Absenteeism
9. Turnover
10. Job satisfaction
11. Motivation
12. Morale
13. Control
14. Conflic
15. Flexibility/adaptation
16. Planning and goal setting
17. Goal concensus
18. Internalization of organizational goal
19. Role and norm congruence
20. Managerial interpersonal skills
21. Managerial task skills
22. Information management and communication
23. Readiness
24. Untilization of inveronment
25. Evaluation by external entities
26. Stability
27. Value of human resources
28. Participation and shared influence
29. Trainning and development emphasis
30. Ahievement emphasis

Pengujian Efektivitas Organisasi Dalam Institusi Pendidikan
Kasus yang diangkat dalam makalah ini berkaitan dengan efektivitas organisasi dalam institusi pendidikan. Institusi pendidikan pada umumnya merupakan satu organisasi nirlaba. Karakteristik organisasi nirlaba pada umumnya bertujuan tidak untuk mencari keuntungan, evaluasi terhadap kinerja organisasi nirlaba ini tetap dilakukan dalam rangka untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup organisasi dengan cara yang efektif dan efisien. Efektif dalam arti dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan yaitu memberikan pelayanan, baik kepada masyarakat secara luas maupun kepada pihak-pihak internal organisasi, yaitu karyawan. Efisien berarti menggunakan sumber daya yang tersedia untuk dapat menghasilkan output yang maksimum.
KESIMPULAN
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan tentang pengujian efektivitas organisasi yang dikaitkan dengan dimensi budaya yang dikembangkan oleh Hofstede (1980). Variabel-variabel budaya diturunkan dari norma-norma sosial setiap dimensi budaya, yaitu power distance, uncertainty avoidance, individualism/collectivism, dan masculinity/femininity. Sedangkan indikator-indikator untuk mengukur efektivitas organisasi diambil dari model efektivitas organisasi yang dikembangkan oleh Robbins (1990). Pengukuran ini dipilih karena menggunakan indikator yang lebih komprehensif yaitu menggunakan indikator non keuangan. Pengukuran ini sesuai dengan kasus yang dibahas yaitu pengujian efektivitas organisasi nirlaba yang bertujuan tidak untuk mencari keuntungan finansial tetapi lebih menenkankan pada peningkatkan kualitas pendidikan.
Referensi : http://ryansilenceinthelonely.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar