PENGARUH BUDAYA
TERHADAP EFEKTIVITAS ORGANISASI:
Dimensi Budaya Hofstede
PENDAHULUAN
Beberapa artikel yang menjelaskan tentang pengujian efektivitas organisasi antara lain Smith (1998); Cameron (1980); dan Sekaran dan Snodgrass (1986). Dua artikel pertama menjelaskan tentang bagaimana pengukuran efektivitas organisasi dan indikatorindikator apa yang digunakan untuk mengujinya. Sedangkan artikel Sekaran dan Snodgrass (1986) memberikan kerangka pengujian efektivitas organisasi dan secara eksplisit menghubungkannya dengan faktor budaya. Artikel-artikel
tersebut sepakat bahwa efektivitas organisasi tidak dapat dipisahkan dengan faktor lingkungan yang membentuk organisasi tersebut. O’Connor (1995) melakukan pengujian terhadap faktor budaya dan nonbudaya dan pengaruhnya terhadap penggunaan sistem evaluasi kinerja. Penelitian O’Connor tersebut menemukan bahwa tingkat individualism dan uncertainty avoidance memoderasi pengaruh dari task difficulty pada hubungan antara penekanan anggaran dengan job related tension dan kinerja.
Tujuan
artikel adalah untuk memberikan suatu kerangka pemikiran mengenai
pengaruh budaya (dengan menggunakan dimensi budaya Hofstede) terhadap
efektivitas organisasi dengan memasukkan beberapa faktor intervening
yang secara tidak langsung menjembatani hubungan antara keduanya.
Artikel ini diharapkan dapat memberikan tambahan referensi bagi peneliti
maupun disiplin lainnya, terutama yang berkaitan dengan penerapannya
dalam dunia pendidikan. Setelah pendahuluan, artikel ini dibagi dalam
beberapa bagian. Bagian pertama
BUDAYA DAN ORGANISASI
Pengertian Budaya
Hofstede
menurunkan konsep budaya dari program mental yang dibedakan dalam tiga
tingkatan (Hofstede 1980: 15), yaitu: 1) tingkat universal, yaitu
program mental yang dimiliki oleh seluruh manusia. Pada tingkatan ini
program mental seluruhnya melekat pada diri manusia, 2) tingkat collective,
yaitu program mental yang dimiliki oleh beberapa, tidak seluruh
manusia. Pada tingkatan ini program mental khusus pada kelompok atau
kategori dan dapat dipelajari. 3) tingkat individual, yaitu program
mental yang unik yang dimiliki oleh hanya seorang, dua orang tidak akan
memiliki program mental yang persis sama. Pada tingkatan ini program
mental sebagian kecil melekat pada diri manusia, dan lainnya dapat
dipelajari dari masyarakat, organisasi atau kelompok lain.
Dalam
ilmu sosial, pada umumnya tidak dapat dilakukan pengukuran suatu
konstruk secara langsung, sehingga paling tidak harus digunakan 2
pengukuran yang berbeda. Program mental ini oleh Hofstede dijelaskan
dengan dua konstruk yaitu value (nilai) dan culture (budaya). Nilai didefinisikan sebagai suatu tendensi yang luas untuk menunjukkan state of affairs tertentu atas lainnya, yang pengukurannya menggunakan belief, attitudes, dan personality. Sedangkan culture didefinisikan oleh Hofstede (1991: 4) sebagai program mental yang berpola pikiran (thinking), perasaan (feeling), dan tindakan (action) atau disebut dengan “software of the mind”. Pemrograman ini dimulai dari
lingkungan
keluarga, kemudian dilanjutkan dengan lingkungan tetangga, sekolah,
kelompok remaja, lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat. Dengan
demikian kebudayaan adalah suatu sistem nilai
yang
dianut oleh suatu lingkungan, baik lingkungan keluarga, lingkungan
sekolah, lingkungan kerja, sampai pada lingkungan masyarakat luas.
Pemrograman mental atau budaya ini dikembangkan melalui
suatu
sistem nilai yang berkembang dalam masyarakat, kemudian sistem nilai
ini akan menjadi norma-norma sosial yang mempengaruhi perilaku sosial.
Hofstede (1980:27) menggambarkan pola budaya seperti pada gambar 1.
Gambar 1. Pola Budaya
Tingkatan Budaya
Dengan mengacu pada tingkatan program mental tersebut Hofstede menurunkan budaya dari tingkatan yang kedua (collective)
sehingga budaya adalah sesuatu yang dapat dipelajari bukan merupakan
suatu gen tetapi diturunkan dari lingkungan sosial, organisasi ataupun
kelompok lain. Budaya ini dibedakan antara sifat manusia dan dari
kepribadian individu. Sifat manusia adalah segala yang dimiliki oleh
manusia misalnya sifat cinta, sedih, sifat membutuhkan orang lain, dan
sebagainya, ekspresi sifat ini dipengaruhi oleh budaya yang dianut pada
masyarakat tersebut. Sedangkan kepribadian (personality) seorang
individu adalah seperangkat program mental personal yang unik yang tidak
dapat dibagikan dengan orang lain.Hofstede (1991:10) mengkategorikan
lapisan budaya untuk mengelompokkan kebiasaan orang sesuai dengan
lingkungannya:
Tingkatan nasional (national level), berdasarkan suatu negara.
Tingkatan daerah (regional), dan/atau suku (ethnic), dan atau agama (religion), dan atau bahasa
(lingistic).
Tingkatan perbedaan jenis kelamin (gender).
Tingkatan generasi, misalnya orang tua dengan anak-anak.
Tingkatan sosial, dihubungkan dengan pendidikan, dan pekerjaan atau profesi.
Tingkatan organisasi atau perusahaan.
Dimensi Budaya Dan Struktur Organisasi
Power Distance dan Struktur Hirarki
Power Distance berhubungan
dengan bagaimana masyarakat menerima kenyataan bahwa kekuasaan pada
suatu institusi dan organisasi didistribusikan secara tidak sama.
Hirarki menunjukkan bagaimana organisasi mendistribusikan kekuasaan
diantara anggotanya. Dengandemikian power distance yang tinggi,
kekuasaan didistribusikan secara sangat tidak sama. Dengan kelompok yang
berkuasa pada tingkat paling atas, maka pengambilan keputusan akan
dilakukan secara sentralisasi dan menunjukkan adanya gaya kepemimpinan
yang otokratik. Sebaliknya dengan power distance yang rendah,
maka hirarki sosial akan cenderung dilakukan dalam suatu gaya
kepemimpinan yang konsultatif, dimana supervisi maupun bawahan bertindak
interdependen.
Uncertainty Avoidance dan Sistem Monitoring
Uncertainty Avoidance berhubungan
dengan kenyataan menghadapi suatu ketidak pastian di masa yang akan
datang dan bagaimana tingkat reaksi menghadapinya. Hofstede menggunakan
tingkat stress untuk mengukur tingkat Uncertainty Avoidance. Sistem
monitoring digunakan untuk memonitor suatu proses dari organisasi. Bagi
suatu organisasi yang mempunyai budaya melakukan pengelakan ketidak
pastian dengan tingkat rendah, maka cenderung untuk menggunakan sistem
monitoring yang relatif simpel (misalnya menggunakan sistem penganggaran
yang sedikit). Sedangkan organisasi yang mempunyai budaya pengelakan
ketidak pastian yang tinggi maka akan mempunyai sistem monitoring yang
komplek dan dilakukan dengan teliti.
Individualism/Collectivism dan sistem evaluasi
Dimensi
ini berhubungan dengan hubungan antara individudan kelompok dimana
individu tersebut menjadi anggotanya. Masyarakat yang mempunyai budaya
dengan tingkat individualisme yang tinggi akan memberikan kebebasan
personal dan otonomi kepada kepentingan individu. Sebaliknya masyarakat
yang mempunyai budaya dengan tingkat collectivism yang tinggi,
individu yang berada dalam suatu kelompok akan mementingkan kepentingan
kelompok dan akan saling memperhatikan satu individu terhadap individu
lainnya. Sistem evaluasi yang dirancang dalam suatu organisasi akan
memperhatikan budaya yang mempengaruhi kehidupan organisasi tersebut.
Bagi organisasi dengan tingkat individualisme tinggi, sistem evaluasi
akan dirancang berdasarkan pada perilaku dan pencapaian setiap individu.
Sedangkan untuk organisasi yang mempunyai tingkat collectivism yang
tinggi evaluasi didasarkan pada pencapaian tujuan kelompok.
Tabel 1. Kriteria Efektivitas Organisasi
1. Overall efeectiveness
2. Productivity
3. Efficiensy
4. Profit
5. Quality
6. Accidents
7. Growth
8. Absenteeism
9. Turnover
10. Job satisfaction
11. Motivation
12. Morale
13. Control
14. Conflic
15. Flexibility/adaptation
16. Planning and goal setting
17. Goal concensus
18. Internalization of organizational goal
19. Role and norm congruence
20. Managerial interpersonal skills
21. Managerial task skills
22. Information management and communication
23. Readiness
24. Untilization of inveronment
25. Evaluation by external entities
26. Stability
27. Value of human resources
28. Participation and shared influence
29. Trainning and development emphasis
30. Ahievement emphasis
Pengujian Efektivitas Organisasi Dalam Institusi Pendidikan
Kasus
yang diangkat dalam makalah ini berkaitan dengan efektivitas organisasi
dalam institusi pendidikan. Institusi pendidikan pada umumnya merupakan
satu organisasi nirlaba. Karakteristik organisasi nirlaba pada umumnya
bertujuan tidak untuk mencari keuntungan, evaluasi terhadap kinerja
organisasi nirlaba ini tetap dilakukan dalam rangka untuk dapat
mempertahankan kelangsungan hidup organisasi dengan cara yang efektif
dan efisien. Efektif dalam arti dapat mencapai tujuan yang telah
ditetapkan yaitu memberikan pelayanan, baik kepada masyarakat secara
luas maupun kepada pihak-pihak internal organisasi, yaitu karyawan.
Efisien berarti menggunakan sumber daya yang tersedia untuk dapat
menghasilkan output yang maksimum.
KESIMPULAN
Makalah
ini bertujuan untuk menjelaskan tentang pengujian efektivitas
organisasi yang dikaitkan dengan dimensi budaya yang dikembangkan oleh
Hofstede (1980). Variabel-variabel budaya diturunkan dari norma-norma
sosial setiap dimensi budaya, yaitu power distance, uncertainty avoidance, individualism/collectivism, dan masculinity/femininity.
Sedangkan indikator-indikator untuk mengukur efektivitas organisasi
diambil dari model efektivitas organisasi yang dikembangkan oleh Robbins
(1990). Pengukuran ini dipilih karena menggunakan indikator yang lebih
komprehensif yaitu menggunakan indikator non keuangan. Pengukuran ini
sesuai dengan kasus yang dibahas yaitu pengujian efektivitas organisasi
nirlaba yang bertujuan tidak untuk mencari keuntungan finansial tetapi
lebih menenkankan pada peningkatkan kualitas pendidikan.
Referensi : http://ryansilenceinthelonely.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar